Rupiah masih terus melaju dan melanjutkan penguatan di hadapan dollar AS. Di pasar spot, Senin (12/10) nilai rupiah menanjak 0,03% dibanding sehari sebelumnya ke level Rp 13.408 per dollar AS. Selama sepekan terakhir, rupiah pun menguat 7,5%.
Rully Arya Wisnubroto, Analis Pasar Uang PT Bank Mandiri Tbk menjelaskan, melihat kondisi fundamental saat ini rupiah memang berada di kisaran Rp 13.500 – Rp 14.000 per dollar AS. “Dengan melihat kondisi inflasi, ekspor dan impor, serta surplus neraca perdagangan rupiah seharusnya masih di bawah Rp 14.000 per dollar AS,” ujar dia.
Namun demikian, Rully melihat penguatan rupiah selama sepekan terakhir lebih didominasi oleh sentimen global. Jika dicermati, penguatan rupiah mulai terjadi setelah data ketenagakerjaan AS berada di bawah proyeksi, menyusul berbagai data negatif lain dari negeri Paman Sam. Spekulasi bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya tahun ini menambah tekanan pada dollar AS sehingga rupiah pun semakin bertenaga.
Kondisi fundamental dalam negeri menurut Rully sebenarnya sudah cukup baik. Pertama, laju inflasi bulan September 2015 mengalami deflasi 0,05% meski secara year on year inflasi tercatat 6,8%. Pada bulan Oktober, Rully menduga akan kembali terjadi deflasi, apalagi jika paket stimulus ekonomi pemerintah mulai dijalankan seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). “Target inflasi pemerintah tahun ini sekitar 4% kemungkinan bisa tercapai,” ujarnya.
Kedua, angka neraca perdagangan Indonesia pun sudah mulai membaik. Surplus neraca perdagangan bulan Agustus 2015 mencapai US$ 433,8 juta. Nilai ekspor pada bulan Agustus mencapai US$ 12,7 miliar, lebih tinggi 11,3% dibanding bulan sebelumnya US$ 11,41 miliar dollar AS. Sedangkan nilai impor sebesar US$ 12,27 miliar atau naik 21,7% dari bulan sebelumnya US$ 10,08 miliar. “Dengan nilai impor yang meningkat, ada harapan perekonomian mulai mengalami perbaikan,” imbuh Rully.
Rully berharap perekonomian Indonesia di kuartal III dan IV terus mengalami perbaikan seiring dengan menggeliatnya pembangunan. Kenaikan impor menandakan adanya perkembangan positif pada pembangunan infratsruktur mengingat mayoritas impor merupakan bahan baku dan barang modal.
Hanya saja, cadangan devisa dalam negeri sudah berkurang cukup besar. Per akhir September lalu, cadangan devisa menyentuh US$ 101,7 miliar, lebih rendah dari posisi akhir Agustus 2015 sebesar US$ 105,3 miliar. Memang posisi cadangan devisa saat ini jauh lebih besar jika dibandingkan pada saat krisis ekonomi tahun 1998 yang hanya sekitar US$ 20 miliar.
Namun, jika dilihat pemerintah sudah kehilangan cadangan devisa hingga US$ 5 miliar dalam kurun waktu Mei – September 2015. Sebagian cadangan divisa digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ternyata, rupiah masih saja melemah. “Kita lihat memang agak susah melawan kekuatan pasar sehingga BI seharusnya hati-hati agar jangan sampai cadangan devisa hilang cukup besar namun hasil tidak signifikan,” lanjut Rully.
Rully memperkirakan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun akan ada perbaikan meski tidak signifikan. Soalnya, di kuartal II-2015 pertumbuhan ekonomi baru mencapai 4,67%. “Akhir tahun kemungkinan membaik di atas 5% namun masih agak rapuh,” imbuhnya.
Dengan asumsi The Fed menunda kenaikan suku bunga tahun ini Rully menduga rupiah pada akhir tahun akan bergerak di kisaran Rp 13.500 – Rp 14.000 per dollar AS.
Sumber: kontan.co.id
Website Administrator
Creative Trading System | Creative Idea in Stock Market