Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menerbitkan aturan investasi pada surat utang negara minimum 20% dari total investasi perusahaan asuransi umum. Sebanyak 30% bagi perusahaan asuransi jiwa atau dana pensiun yang dicapai pada akhir tahun 2017. Target sampai akhir 2016 masing-masing 10% dan 20%.
“Dari sisi positif, diyakini aturan baru ini akan mendongkrak likuiditas dan struktur kepemilikan pada pasar obligasi, mengurangi tingginya ketergantungan pada pemodal asing,” kata Stephan dalam riset yang dipublikasikan, Rabu (3/2). Menurutnya kepemilikan asing pada instrumen obligasi negara naik hingga 39 persen.
Selain itu, Menteri Keuangan berencana untuk mengubah transfer fiskalnya ke pemerintah daerah dalam obligasi negara juga akan memperburuk efek negatif musiman kegiatan pembiayaan fiskal pada likuiditas sistem perbankan selama semester pertama tahun ini. Hal ini ketika pengeluaran pemerintah biasanya masih rendah.
Faktor Mitigasi
Meski begitu bank-bank dinilai cukup memiliki dana cadangan untuk mengatasi pelarian dana deposito mengingat cadangan dana kedua (perbankan) dalam portfolio surat utang negara sebesar Rp443 triliun serta cadangan dana utama dikendalikan oleh BI mencapai Rp400 triliun.
Dalam pandangan Indo Premier Securities, bank-bank akan mampu secara mudah menjual kepemilikan surat utang itu untuk mendongkrak likuiditas bagi kepentingan kucuran kredit saat likuiditas ketat. Bank Indonesia juga menyatakan menyiapkan pelonggaran moneter lanjutan saat likuiditas kering di sektor perbankan.
Sementara itu rasio giro wajib minimum (GWM) dipangkas 50 bps menjadi 7,5% per Desember 2015, hal ini masih tinggi. Sepanjang krisis finansial global tahun 2008, BI memangkas rasio GWM dari 11% menjadi 5% walaupun ini dinaikkan lagi menjadi 8% saat likuiditas meningkat pada akhir 2010.
“Diyakini baik penjualan surat utang negara oleh bank ataupun penurunan rasio GWM oleh BI akan mengurangi masalah likuiditas ketat saat penerapan aturan baru ini,” tambah Stephan.
LDR Isu Besar
Loan to deposit ratio dalam perbankan telah naik tajam menjadi 96% bagi aset-aset dalam mata uang lokal pada 2015 (82% untuk aset mata uang asing) dari sebelumnya hanya 39% di tahun 2012 karena faktor kuatnya pertumbuhan kredit yang melampaui pertumbuhan deposito.
Kontribusi terhadap hal ini adalah pertumbuhan nominal GDP Indonesia melambat karena faktor deflasi harga komoditi yang telah memperlambat pertumbuhan deposito mata uang lokal menjadi hanya 7 persen (YoY) per Desember 2015 dari sebelumnya 15% (YoY) dalam setahun terakhir.
Tambahan lagi, surplus likuiditas perbankan yang diukur dari penyerapan dana cash oleh BI sebagai bagian dari operasi moneter juga menurun menjadi Rp132 triliun per Desember 2015 setara dengan 3,7% dari total deposito mata uang lokal dibanding dari level pada awal tahun sebesar 8,2 persen serta mencapai puncaknya menjadi 24 persen pada 2010.
Penurunan surplus likuiditas ditambah dengan rasio loan to deposit ratio akan membatasi prospek pertumbuhan perbankan dalam jangka panjang menjadi sesuai dengan pertumbuhan GDP nominal.
Sumber : Ipot News
Website Administrator
Creative Trading System | Creative Idea in Stock Market