Beberapa minggu kebalakang mungkin menjadi mimpi buruk bagi banyak INVESTOR RITEL yang ada di bursa saham. Optimisme yang mereka percaya dapat membuat bursa saham terbang dalam waktu yang cukup panjang, nampaknya harus dipadamkan seiring dengan mengerikannya aksi PROFIT TAKING dari Investor Asing di IHSG, yang membuat IHSG terjun bebas dan kembali kebawah 6.000.
Mungkin beberapa diantara kita, cukup kecewa dengan apa yang terjadi saat ini, wondering mengapa ditengah optimisme yang terbangun di 2019 ini, IHSG malah rontok. Padahal katanya beberapa hal yang terjadi saat ini sesuai dengan yang diinginkan oleh kebanyakan orang, termasuk hasil (quick count) PILPRES 2019.
Kami sendiri cukup banyak mendengar analis hebat yang ada di bursa saham mengatakan bahwa “Jika Jokowi menang, maka IHSG bisa terbang…”, “IHSG selalu naik setelah PILPRES…”, “Setelah PILPRES, siapapun Presiden yang terpilih, maka itu artinya Market sudah setuju dengan itu…”.
Bahkan saking kuatnya isu tersebut terus dibicarakan di public, beberapa orang yang saya tahu tidak pernah Investasi Saham, membeli saham pertama mereka di 1 hari setelah PILPRES 2019. Mengapa mereka melakukan hal tersebut, sederhana, mereka optimis! Mereka percaya dengan berita tersebut, cukup masuk akal bila mereka investasi di bursa saham.
Bet Against the Consensus
Jika anda pernah membaca buku ONE UP ON WALLSTREET, karya Peter Lynch dan John Rothchild, maka sangat mungkin anda akan kembali mempertimbangkan untuk membeli saham di momen kemenangan Jokowi tersebut. Mengapa?
Salah satu prinsip Peter Lynch yang ia jelaskan dalam buku tersebut, “do exact opposite of what analyst are saying, particularly in the media.” Mungkin anda sudah cukup sering mendengarnya, namun coba pikirkan ini sekali lagi dengan keadaan yang terjadi sekarang.
Sejak awal tahun, Psikologis Market yang dibangun di tahun 2019 ini adalah optimisme akan pesta demokrasi yang begitu besar, yang diperkirakan bisa mengangkat IHSG ke level 7.000an. Hal ini dinilai cukup wajar dan masuk akal.
Menurut saya, scenario tersebut sangat mungkin untuk menjadi kenyataan, asalkan, pembahasan atas optimisme tersebut hanya dibagikan pada segelintir orang yang punya komitmen untuk merahasiakan hal tersebut. Namun kita tahu, hal tersebut too good to be true.
Kami paham, kita tidak bisa mengerti suatu masalah, sampai kita benar – benar melewatinya. Sama seperti SKEMA PROYEK TRILIUNAN ini, mari coba kita tarik mundur untuk melihat apa saja yang sudah terjadi. Aksi profit taking yang seakan tidak ada gangguan ini, tidak lepas dari optimism yang sudah mereka bangun, sejak Oktober 2018 lalu.
Dengan membuat IHSG naik besar dan disesuaikan dengan momentum yang ada, ini membuka ruang untuk para Analis memberikan view mereka bahwa IHSG memiliki prospek yang cerah. Dan respon masyarakat akan view Analis inilah yang dimanfaatkan untuk aksi besar ini.
Dengan melihat penggalan singkat dari SKEMA PROYEK TRILIUNAN ini, setidaknya kita melihat bukti bahwa pihak yang melakukan prinsip bet against the consensus ini, kini sudah membawa pulang pundi – pundi mereka. Yes, now we know who’s the smart guy.
Averaging or Cut Loss?
Lalu dengan pulangnya mereka sambil membawa pundi – pundi tersebut, apakah itu artinya ini adalah akhir dari SKEMA TRILIUNAN ini? Ataukah mungkin ini adalah akhir dari karir kita sebagai seorang INVESTOR Saham? Atau bahkan akhir dari saham yang kita miliki? Well, saya paham beberapa dari kita mungkin sangat kecewa dengan kejadian ini, tetapi menurut saya cukup berlebihan bila kita berpikir seperti itu.
dalam Workshop Psychology Trading & Money Management, kami akan memberikan salah satu hasil riset yang mendasari artikel ini. Bagaimana seorang trader paling bodoh sekalipun, yang membeli saham di pucuk 2008, tepat sebelum jatuh, ia bisa memiliki kinerja lebih unggul dari IHSG, hanya dengan melakukan satu cara sederhana.
Ada 2 hal yang perlu kita pahami disini, pertama, jika kita tahu perusahaan yang sahamnya kita miliki, memiliki bisnis yang baik, earning yang lebih besar dibandingkan dengan saham lain di sektor tersebut, maka bencana yang mungkin datang, bukan dari penurunan harga sahamnya, tetapi ada di keputusan kita untuk melakukan cut loss.
Saya tidak sedang menyarankan anda untuk hold saham yang anda miliki ditengah kondisi saat ini, semua itu bergantung pada saham apa yang anda beli (Bila saham yang anda miliki mayoritas adalah saham bluechip maka safety factor anda setidaknya tergambar dengan pergerakkan IHSG, seperti contoh dibawah.) Dan apa alasan rasional mengapa anda harus hold atau cut loss posisi anda.
Karena selama kerugian tersebut masih berada di portfolio kita, itu hanya penurunan nilai, tetapi jika kita melakukan cut loss, maka kita mengakui bahwa memang kerugian ini adalah konsekuensi yang harus kita terima sebagai resiko pekerjaan.
Kedua, bila dibandingkan dengan krisis dan koreksi besar yang terjadi selama 20 tahun terakhir, koreksi kali ini masih terbilang cukup kecil. Seperti misalnya bila ada trader paling bodoh sekalipun yang membeli saham di saat IHSG berada di pucuk, atau tepat sebelum jatuh di tahun 2008, dan mengalami penurunan sedalam 61%, ia hanya membutuhkan 2 tahun untuk kembali ke titik awal.
Penurunan IHSG di peride ini berada di sekitar 9%, bahkan masih belum sebesar yang terjadi di tahun 2018 lalu. Jadi menurut saya, kekecewaan kita terjadi hanya karena kita sudah terlalu optimis dengan gambaran yang ada dikepala kita tentang efek PILPRES terhadap bursa saham, dan bukan karena alasan fundamental yang memburuk.
Itu artinya, jika anda memiliki saham yang tepat, menurut kami, averaging bisa membantu anda mempercepat anda untuk kembali ke level semula (BEP). Tetapi sekali lagi kami ingatkan, Keputusan Investasi ada ditangan anda, dan kami tidak sedang menyarankan anda untuk melakukan averaging.
Dalam beberapa tahun terakhir, kami cukup sering melakukan riset yang bertujuan mencari strategi – strategi “bodoh” yang TERBUKTI bisa memberikan profit fantastis dalam Investasi Saham, dan salah satu riset yang kami temukan adalah menentukan level averaging yang ideal.
Dalam Workshop Psychology Trading & Money Management, kami akan menjabarkan dimana saja level averaging yang bisa dibilang cukup ideal untuk investasi saham. Dan tidak hanya itu, salah satu riset andalan kami adalah membuktikan bahwa sebenarnya meskipun kita adalah trader paling bodoh sekalipun, yang membeli di pucuk tepat sebelum saham tersebut jatuh, kita bisa memiliki performa yang lebih baik dari IHSG.
Kesimpulan
Mungkin beberapa dari kita saat ini merasa terjebak, susah menerima kenyataan bahwa kita secara telak seperti dipermainkan oleh Investor Asing. Namun merasa demikian tidak memberikan apa – apa, langkah yang paling bijak adalah mengambil pelajaran bahwa ketika suatu berita menguak terlalu kuat di permukaan, maka pertimbangkan dengan serius untuk melepas saham tersebut sebelum saham tersebut benar – benar jatuh.
Dan apabila saham tersebut sudah terlanjur turun dengan cepat, pertimbangkan dengan rasional apakah anda harus hold & averaging atau justru cut loss. Karena terkadang yang menghancurkan Investor bukanlah market, tetapi reaksi tidak rasional kita sendiri.
Joseph Gabetua S.S.T.
Analyst of Creative Trading System. Relentless Trader and Part Time Investor. Huge dreams, Small me.