1. EKONOMI DALAM NEGERI YANG GAGAL BANGKIT
Pada akhir kuartal ketiga tahun 2015 lalu indikasi pelemahan Ekonomi dalam negeri terlihat sudah berakhir, dan pemerintah terus mengeluarkan berbagai Paket Ekonomi untuk memacu pertumbuhan Ekonomi. Setelah krisis berakhir memang pelaku pasar otomatis akan mengharapkan kebangkitan ekonomi nasional, yang juga tercermin dengan perbaikan kinerja emiten-emiten dalam negeri di kuartal ke 4 tahun 2015.
Namun bahaya akan muncul jika perbaikan yang diharapkan tidak menjadi kenyataan, karena market sudah terlanjur berharap ekonomi sudah melewati krisisnya, dan akan segera bangkit. Jika terjadi masa stagnan terlebih dahulu di tahun 2016 ini maka peluang IHSG akan kembali terkoreksi dalam akan menjadi cukup besar.
2. RESIKO PELAMBATAN EKONOMI EMERGING MARKET
Tahun 2015 indeks negara-negara MSCI Emerging Market mengalami penurunan yang cukup dalam, terlihat dari indeks Emerging Market yang turun mencapai 20% tahun lalu, sampai saat ini belum ada analis yang memprediksi bahwa Emerging Market akan kembali bangkit di tahun 2016.
Namun karena pokok bahasannya adalah seberapa besar pelambatan pertumbuhan ekonomi emerging market, jadi selama perlambatan ekonominya masih dalam tahap wajar maka indeks Emerging Market masih dapat rebound tahun ini, namun jika ternyata kondisi Emerging Market justru memburuk, kemungkinan kita akan menjalani kondisi yang kurang lebih sama dengan tahun lalu.
3. RESIKO NILAI TUKAR RUPIAH
Ekonomi akan sulit untuk bangkit jika nilai tukar rupiah terus bergejolak seperti tahun lalu, seperti sering kami bahas sebelumnya pelemahan rupiah disebabkan karena faktor dalam dan luar negeri. Kabar baiknya dalam 4 bulan terakhir intervensi Bank Indonesia tampak mulai berhasil menjaga stabilitas rupiah, dimana pelemahan rupiah tampak jauh lebih rendah dari mata uang negara lainnya. Mari berharap BI tetap bisa mempertahankan kinerjanya sepanjang tahun 2016.
4. PENURUNAN HARGA KOMODITAS
Tahun 2015 lalu harga minyak bumi dunia mencapai record terendahnya dalam 10 tahun terakhir, penurunan ini ikut berdampak ke harga-harga komoditas lainnya, seperti batubara emas bumi, nickel dan timah.
Di tahun 2008 lalu sector mining adalah sektor dengan kapitalisasi terbesar di IHSG, saat ini sector ini hanya bernilai 3% dari kapitalisasi total IHSG, dengan kata lain efek dari penurunan harga – harga saham komoditas sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang besar lagi untuk IHSG.
Namun sebagai negara exportir komoditas terutama batubara pemasukan negara juga banyak bergantung pada harga komoditas, krisis yang dialami sector ini bisa menjalar ke sektor-sektor lainnya yang akhirnya akan memberikan dapak buruk bagi IHSG. Sebaliknya jika harga komoditas kembali bangkit di tahun ini, maka sentimen ini juga dapat memberikan efek domino untuk kenaikan IHSG di tahun 2016.
5. BERAKHIRNYA TREND BULLISH JANGKA PANJANG DOW JONES
Tahun 2015 kemarin data ekonomi Amerika sangat baik namun trend bullish indeks Dow Jones justru malah berakhir tahun lalu, seperti kita lihat trend kenaikan yang sudah terjadi dari akhir 2008 lalu berakhir di pertengahan 2015. Hal ini menunjukan bahwa siklus bursa Amerika mulai berubah dari siklus ekspektasi pertumbuhan menjadi realisasi di sektor riil. Dalam kondisi seperti ini justru indeks menjadi lebih rawan mengalami koreksi jangka menengah terutama ketika kenyataan yang terjadi tidak sebaik harapan sebelumnya.
Trend jangka panjang Dow Jones juga adalah salah satu yang membuat indeks yang dapat menjadi ancaman untuk IHSG tahun ini.
Dapatkan Market Outlook dan Saham Pilihan 2016 : Menunggu Terbangnya Indonesia Baru
Website Administrator
Creative Trading System | Creative Idea in Stock Market