The Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat dijadwalkan akan mengadakan rapat dewan gubernur untuk memberi keputusan mengenai kebijakan moneter terutama mengenai suku bunga acuan yaitu Fed Fund Rate (BI Rate-nya Amerika serikat). Fed Fund Rate (FFR) saat ini di level 0.5% dimana telah berada di level tersebut sejak Des’15 dan tidak berubah selama empat rapat The Fed. FFR naik pertama kali pada Des’15 dengan perubahan sebesar 0.25%. FFR berada di level 0.25% sejak Des’08 dari terus berada di level tersebut hingga Nov’15.
Pada akhir tahun 2015, Jennet Yellen mengatakan akan mulai mengakhiri rezim suku bunga rendah dan akan menaikkan FFR sepanjang tahun 2016. Hal tersebut dibuktikan dengan kenaikan FFR menjelang akhir 2015 lalu. Pasar global termasuk Indonesia mulai mengambil asumsi dan menganggap bahwa kenaikan FFR tersebut sebagai salah satu risiko terbesar yang akan sangat berdampak terhadap aset keuangan di Indonesia antara lain Rupiah, Obligasi dan Saham. Niat Yellen menaikkan FFR tentu dengan alasan bahwa perekonomian Amerika Serikat mulai pulih di pertengahan tahun 2015 sehingga menjelang 2016, FFR perlu dinaikkan untuk mengerem laju inflasi yang sangat mungkin terjadi seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Namun ada beberapa poin yang kemungkinan akan membuat The Fed akan menunda kebijakan menaikan FFR di tanggal 15 Mei yang akan datang antara lain :
STAGNANNYA PERTUMBUHAN EKONOMI AMERIKA SERIKAT
Pada kenyataannya, di 4Q15, Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) Amerika Serikat hanya tumbuh 2% YoY. Turun dari 3Q15 yang tumbuh sebesar 2.1% YoY. Pada 1Q16, paska kenaikan FFR, GDP Amerika Serikat pun stagnan dengan pertumbuhan 2% YoY.
Salah satu indikator utama terjadinya pertumbuhan ekonomi adalah munculnya inflasi atau kenaikan harga secara umum. Inflasi di Amerika Serikat memang terlihat naik dari sejak Okt’15 yang saat itu berada di angka 0.2% YoY. Inflasi terus meningkat hingga puncaknya di Jan’16 menjadi sebesar 1.4% YoY. Meskipun sempat turun menjadi 0.9% di bulan Mar’16, pada bulan Apr’16, inflasi kembali meningkat menjadi 1.1% YoY.
Secara spesifik, Yellen sempat mengatakan akan menaikkan FFR karena inflasi Amerika Serikat diperkirakan akan menyentuh 2%. Artinya data inflasi bulan ini menunjukan bahwa tingkat inflasi di Amerika Serikat masih jauh dari ‘target’ 2% yang ditetapkan Yellen.
Salah satu indikator terbentuknya inflasi yang selama ini digunakan oleh para praktisi di Amerika adalah data tenaga kerja. Apabila ada pekerjaan, ada pendapatan maka akan ada pengeluaran dari masyarakat. Pengeluaran masyarakat inilah yang diharapkan memunculkan Demand Pull Inflation yang pada akhirnya menaikkan pertumbuhan ekonomi. Dan dari data Amerika Serikat memiliki data Non-Farm Payroll (NFP) atau data perubahan pekerjaan diluar sektor pertanian. Data ini sangat mempengaruhi pergerakan aset finansial terutama US Dollar. Dan belakangan ini menjadi salah satu data yang sangat mempengaruhi keputusan terkait Fed Fund Rate (FFR).
Amerika Serikat memiliki data Non-Farm Payroll (NFP) atau data perubahan pekerjaan diluar sektor pertanian. Data ini sangat mempengaruhi pergerakan aset finansial terutama US Dollar. Dan belakangan ini menjadi salah satu data yang sangat mempengaruhi keputusan terkait Fed Fund Rate (FFR). Pada awal bulan ini, NFP hanya tumbuh sebesar 38ribu sangat buruk dan jauh dari estimasi sebesar 159ribu atau data bulan Mei di 160 ribu.
Oleh karena itu, memburuknya Non-Farm Payroll sangat mungkin mengurungkan niat The Federal Reserve untuk menaikkan Fed Fund Rate di 3Q16. Bahkan tidak tertutup kemungkinan tidak akan ada kenaikan FFR di tahun 2016. Batalnya rencana kenaikan FFR di 3Q16 membuat nilai tukar Dollar Amerika melemah.
Dengan melemahnya US Dollar karena batalnya kenaikan Fed Fund Rate setidaknya di 3Q16 yang diakibatkan memburuknya Non-Farm Payroll, maka ada harapan kenaikan harga komoditas seperti minyak bumi dan batubara. Naiknya harga minyak bumi secara umum lebih berdampak positif terhadap negara – negara pengekspor minyak atau batubara yang umumnya merupakan Emerging Market, seperti Indonesia.
Dengan berdampak positif terhadap Emerging Market, maka aset di Emerging Market seperti Indonesia pun akan membaik. Hal ini terbukti pada dalam 3 hari terakhir, Rupiah, Yield SUN 10Th dan IHSG bergerak membaik. Selain itu CTS Coal Indeks juga terlihat menguat signifikan sejak keluarnya dana Non Farm Payroll di atas. Menunjukan bahwa saham-saham komoditas memang mendapat sentimen positif dari kemungkinan tidak akan dinaikannya suku bunga The Fed tahun ini.
Market Analyst by Muhamad Makky Dandytra, CFTe
Website Administrator
Creative Trading System | Creative Idea in Stock Market