Dalam trading dan investasi kita mengenal 1 metode analisa yang disebut Intermarket Analysis, metode analisa ini menggabungkan pergerakan harga di 2 atau lebih instrumen untuk memprediksi arah pergerakan harga dari satu instrumen yang ingin kita prediksi harganya.
Contoh dari Analisa Intermarket adalah bagaimana kita memprediksi pergerakan harga saham-saham pertambangan batubara dengan membandingkannya dengan pergerakan harga batubara dunia. Membandingkan harga ADRO dengan harga batubara, membandingkan harga AALI dengan harga CPO, membandingkan harga ELSA dengan harga minyak bumi.
Analisa ini sangat populer digunakan para analis sekuritas karena analisanya bisa dikatakan cukup masuk akal dan mudah diterima oleh para pembaca dari analisa tersebut. Selain itu karena sekarang tidak sulit untuk mendapatkan update pergerakan harga-harga komoditas secara gratis. maka para investor ritel pun mulai banyak menggunakan analisa intermarket untuk dalam mengambil keputusan trading dan investasi.
Memang tidak sulit untuk memahami mengapa analisa intermarket dipercaya banyak orang, sebut saja saham LSIP, perusahaannya bergerak di bisnis perkebunan CPO, dengan kata lain pendapatan perusahaan akan sangat dipengaruhi oleh harga jual CPO di bursa Malaysia. kalau harga CPO sedang tinggi maka pendapatan perusahaan akan ikut menjadi tinggi, dan juga sebaliknya. Namun pernahkan terpikirkan oleh anda bagaimana proses pembentukan harga LSIP pada saat terjadi pergerakan pada harga CPO dunia.
Ketika harga CPO naik, apa atau siapa yang membuat harga LSIP naik, dan ketika harga CPO anjlok kenapa terkadang harga LSIP juga langsung ikut anjlok. Karena pada akhirnya kita harus menerima bahwa pergerakan harga saham tidak tercipta karena naik turunnya harga-harga komoditas. Harga saham selalu bergerak karena aksi dan reaksi yang dilakukan oleh para investor besar dan kecil, tanpa reaksi investor di saham tersebut harga sahamnya tidak bisa bergerak, tidak peduli seberapa besar kenaikan atau penurunan harga komoditas yang bersangkutan pada hari tersebut.
Memang benar pergerakan harga komoditas bisa menjadi pemicu aksi para investor, ketika harga komoditas naik, maka investor akan tertarik untuk membeli saham yang bersangkutan dengan harga komoditas tersebut. Namun meningkatnya minat beli investor pun tidak cukup untuk menggerakan harga sebuah saham, untuk harga bisa naik tetap saja butuh ada pihak yang menjadi penjual, dan fakta dibutuhkannya pihak yang berperan sebagai penjual inilah yang membuat analisa intermarket menjadi tidak masuk akal bagi sejumlah pihak yang sudah memahami proses pergerakan harga.
Sebagai contoh sebutlah harga OIL dunia naik 10% malam ini, berita itu membuat besoknya akan ada banyak investor yang ingin membeli saham ELSA, namun pertanyaanya siapa yang mau menjual saham ELSA setelah mendengar berita tersebut? Karena tanpa anda pihak yang menjual tetap saja saham ELSA tidak bisa bergerak naik.
Analisa intermarket seperti ini sebanarnya masih cukup relevan digunakan sampai 10 tahun yang lalu, dimana pada saat itu penyebaran informasi tidak sebaik saat ini. Pada saat itu sangat sulit bagi kita para trader ritel seperti kita untuk mendapatkan informasi mengenai update pergerakan harga komoditas, informasi seperti ini umumnya hanya dimiliki oleh para Big Player, artinya para Big Player bisa melakukan aksi akumulasi lebih dulu memanfaatkan perbedaan informasi tersebut, baru setelahnya ketika investor ritel mendapatkan informasi di situ para Big Player sudah ‘punya barang’ dan bisa mengambil peran sebagai penjual.
Perbedaan waktu penerimaan informasi itulah yang sekarang hilang, informasi pergerakan harga komoditas sekarang bisa dilihat oleh siapa pun di waktu yang kurang lebih sama, menyebabkan waktu bereaksi Big Player dam Small Player relative sama, jadi ketika harga naik semua ingin membeli dan ketika harga turun semua ingi jualan. Inilah alasan mengapa sekarang kita sering kali menemukan keanehan-keanehan dalam korelasi pergerakan harga saham dengan komoditas yang bersangkutan.
Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada pergerakan saham ELSA dalam beberapa bulan terakhir, kita lihat dalam beberapa kesempatan termasuk 2 kasus yang di highlight di bulan Sepetember dan November lalu saham ELSA sempat bergerak betolak belakang dengan pergerakan harga minyak BUMI dunia, dimana ketika harga OIL naik harga ELSA justru turun.
Dari kasus ini dan banyak kasus lainnya kita mendapati bahwa di jama modern ini analisa Intermarket tidak selalu bisa digunakan untuk memprediksi pergerakan harga saham, kondisi yang sama terjadi di saham CPO sepanjang tahun 2017 ini dimana berulang kali harga CPO dunia mengalami kenaikan, namun harga saham-saham CPO justru hanya bergerak sideways atau terkadang turun.
Penyebaran informasi yang semakin baik membuat para Big Player atau Bandar saham perlu melakukan manuver manuver khusus untuk memastikan market dan pergerakan harga saham berjalan dengan lancar, memang menurut Teori Bandarmologi salah satu fungsi Bandar adalah menjadi liquidity provider. Mereka memastikan harga saham bergerak secara ‘luwes’ dalam kondisi apa pun, sehingga ketika ada berita positif masih ada pihak yang mau jualan, dan ketika ada berita negatif ada pihak yang mau membeli.
Di tengah era informasi yang semakin baik saat ini, tanpa adanya Bandar bursa saham kemungkinan akan dipenuhi loncatan-loncatan harga / Gap Up dan Gap Down sepanjang tahun, karena setiap ada berita positif semua orang mau beli dan tidak ada yang mau jualan, dan ketika ada berita negatif semua orang mau jual dan tidak ada yang mau beli. Bagi para pengguna analisa intermarket sendiri kami percaya kedepannya akan semakin sering terjadi keanehan-keanehan seperti yang terjadi di saham ELSA dalam grafik di atas.
Dari kasus ELSA ini kita juga belajar bahwa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisa pergerakan BANDAR untuk menganalisa intermarket, sehingga kita bisa mengetahui kapan kita harus optimis kapan harga ELSA akan bergerak mengikuti harga minyak BUMI dunia, dan kapan harga ELSA justru akan bertolak belakang dengan harga minyak BUMI dunia.
Dalam 5 tahun terakhir kami sudah mengajarkan berbagai metode yang dapat kita gunakan untuk membaca pergerakan BANDAR di suatu saham, dan kali ini kami akan menggunakan metode membaca pergerakan broker-broker ritel, dalam Teori Bandarmologi pergerakan broker-broker tersebut mencerminkan pergerakan investor ritel, dan juga bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh BANDAR.
Dalam grafik dari System Bandarmologi Pro di atas kami menampilkan pergerakan harga ELSA, dibandingkan dengan pergerakan broker-broker ritel di saham ELSA, dan pergerakan harga minyak dunia.
AREA 1: Pada periode ini kita melihat bahwa harga OIL berada dalam trend kenaikan, namun di waktu yang saham harga ELSA masih terus turun, penurunan tersebut disebabkan karena pada periode tersebut grafik pergerakan broker-broker ritel masih terus mengalami kenaikan. Artinya broker-broker sedang mengumpulkan saham ELSA, dan BANDAR ELSA yang sedang melaksanakan fungsinya sebagai Liquidity Provider dimana mereka melakukan aksi distribusi ketika para investor ritel sedang melakukan pembelian. Namun karena harga ELSA dikendalikan oleh BANDAR tidak heran pada periode ini harga ELSA justru mengalami penurunan.
AREA 2 : Pada periode September – November harga minyak bumi dunia terus mengalami rally, bedanya pada periode ini BANDAR justru melakukan aksi akumulasi, yang terlihat dari turunnya indikator pergerakan broker-broker ritel di saham ELSA. Kombinasi 2 indikator ini (naiknya harga OIL dan turunnya kepemilikan broker-broker ritel) membuat saham ELSA naik sangat signifikan dalam periode ini.
AREA 3 : Pada periode ini harga minyak bumi dunia masih terus berada dalam trend bullish, dan harga ELSA pun masih sempat berada dalam trend kenaikan sampai akhir bulan November, namun bedanya grafik kepemilikan broker-broker ritel justru bergerak naik dalam periode ini. Dalam kondisi ini kita melihat bahwa Bandar sudah merubah strateginya, setelah melakukan akumulasi selama 2 bulan (AREA 2) bandar memilih untuk melakukan aksi profit taking, sambil memanfaatkan momentum harga OIL yang masih dalam trend kenaikan.
Jika kita analisa lebih detail dalam periode Awal September sampai Awal November ini grafik kepemilikan broker ritel sudah naik kurang lebih 50% dibandingkan dengan penurunannya di AREA 2, artinya ritel sudah melakukan buyback 50% dari barang yang sudah mereka jual ke BANDAR dalam periode sebelumnya. Bedanya para AREA 2 akumulasi BANDAR dilakuakan di kisaran harga 228 – 370, dan setengah dari saham yang diakumulasi tersebut berhasil dijual di kisaran harga 370 – 408. Artinya sejauh ini BANDAR ELSA sudah untung cukup besar dalam menjual separuh dari barang yang di akumulasi dalam periode sebelumnya.
Bagi anda yang berdomisili di Jakarta dan Surabaya masih terbuka kesempatan anda untuk mempelajari secara mendalam mengenai Ilmu Bandarmologi dan memahami bagaimana kemampuan membaca pergerakan baandar dapat sangat membantu kita untuk melengkapi analisa-analisa yang selama ini kita miliki. Info dan pendaftaran bisa dilihat disini.
KONDISI TERKINI
Jika melihat pergerakan ketiga instrumen tersebut dalam 2 minggu terakhir kita melihat harga minyak BUMI mulai mengalami koreksi hal ini sepertinya mendorong kepanikan investor ritel yang baru saja membeli saham ini di harga mahal, sehingga menyebabkan adanya aksi jual dari broker-broker ritel. Ketika ritel memutuskan untuk jualan, supaya harga tidak jatuh harus ada yang mau membeli, dan itulah yang terjadi di akhir bulan November lalu dimana harga ELSA mengalami koreksi dan grafik pergerakan broker ritel juga mengalami penurunan.
Baru di bulan Desember ini setelah harga ELSA mengami koreksi yang cukup besar minat beli investor ritel di saham ini kembali terlihat meningkat, artinya BANDAR pun bisa mulai melanjutkan profit takingnnya.
Founder & Creative Director of Creative Trading System.
Creative Thinker, Stock Trader, Typo Writer & Enthusiastic Teacher.
Big believer of Sowing and Reaping.
Just A Simple Man with Extraordinary God