Perekonomian di Tiongkok mulai menunjukkan lampu kuning. Ini tecermin dari data manufaktur China yang menurun. Kondisi tersebut sempat menyebabkan Bursa Shanghai CSI 300 amblas 7%, awal perdagangan 2016, Senin (4/1).
Untungnya, kepanikan itu mulai bisa diredam dengan suntikan dana dari Otoritas Tiongkok. Kemerosotan China sempat menyeret pasar saham Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat terperosok kembali bangkit, kemarin.
IHSG menghijau ke level 4.557,82 atau naik 0,7% dari perdagangan sehari sebelumnya. Namun tetap saja, indikasi pelambatan ekonomi China perlu diwaspadai. Beberapa emiten yang memiliki penjualan ekspor ke Negeri Panda itu bisa terkena dampak.
Aditya Perdana Putra, analis Semesta Indovest, mengatakan, perekonomian Indonesia yang diharapkan lebih positif pada tahun ini, seharusnya bisa menjadi peredam sentimen negatif bursa China.
Hal ini terbukti dari IHSG yang masih bisa melawan arus ketika bursa regional memerah, kemarin. Investor asing mulai melakukan net buy sebesar Rp 72,9 miliar. Tetapi, jika ekonomi Tiongkok melambat, beberapa emiten bisa terkena dampak karena menjual produknya ke China.
Apalagi, sejak lama Tiongkok sudah menjadi mitra dagang utama Indonesia. Aditya menyebutkan, banyak sektor industri dasar yang mengekspor produknya ke China. Selain itu, emiten konsumer dan ritel banyak yang bergantung pada China.
Meski demikian, pengaruh terhadap penjualan dinilai tak terlalu signifikan karena permintaan dari dalam negeri masih akan besar. Misalnya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).
“Tapi masih dini menilai, China tak akan ada perbaikan. Jadi belum tentu akan langsung berdampak buruk bagi emiten tersebut,” ujar Aditya.
Lucky Bayu Purnomo, analis LBP Enterprises, mengatakan, pelemahan ekonomi China kemungkinan berlanjut hingga akhir bulan ini, karena anggaran belanja pemerintah setempat menurun.
Penurunan anggaran belanja itu menjadi potret bahwa China masih memiliki potensi pelemahan jangka pendek. Menurut Lucky, salah satu sektor yang akan terimbas langsung adalah sektor tambang.
Selama ini China tercatat sebagai pembeli terbesar komoditas tambang di Indonesia. Memang dalam beberapa tahun terakhir terjadi perlambatan permintaan batubara dari Tiongkok.
Sehingga, jika ekonomi China kembali tersungkur, prospek komoditas juga semakin suram. Emiten yang terkena efek seperti Adaro Energy (ADRO), Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan Aneka Tambang (ANTM).
ADRO misalnya, di akhir September 2015 mencatat ekspor batubara ke China setara 20% dari total nilai ekspor. Emiten konsumer juga bisa terkena dampak, seperti Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) dan Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul (SIDO).
Perlambatan ekonomi China juga bisa mempengaruhi nilai tukar mata uang China terhadap mata uang regional lainnya seperti rupiah. Secara tidak langsung, hal ini bisa mempengaruhi emiten yang banyak mengimpor bahan baku untuk produknya.
“Tetapi emiten di Indonesia kebanyakan sudah bisa mengatasi hal ini,” imbuh Lucky.
William Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, mengatakan, meski penjualan emiten-emiten tersebut akan terganggu dalam jangka pendek, dampaknya tidak akan terlalu besar terhadap kinerja keuangannya.
Apalagi, sudah banyak emiten dalam negeri yang membuka pabrik sendiri di China, sehingga ongkosnya lebih hemat. Dia mengatakan, respons investor terhadap kondisi China dinilai terlalu reaktif.
Sumber: Kontan
Founder & Creative Director of Creative Trading System.
Creative Thinker, Stock Trader, Typo Writer & Enthusiastic Teacher.
Big believer of Sowing and Reaping.
Just A Simple Man with Extraordinary God